Deskripsi
Description
Tamansari terletak tepat di sebelah barat Kraton di dalam dinding luar Beteng Baluwarti Kraton Yogyakarta. Tamansari dan Kraton masih dihubungkan oleh tembok bata setinggi dua meter yang membentang dari Halaman Kemagangan hingga Kompleks Tamansari (1.B.3.12). Dalam konsep kosmologi Jawa, Taman Kerajaan dianggap sebagai tiruan surga. Taman ini juga merupakan tempat meditasi Sultan agar dapat bersatu dengan Tuhan. Oleh karena itu, taman ini menandakan konsep kesatuan Tuhan dan Raja (Manunggaling Kawula Gusti).
Tamansari adalah kompleks taman kerajaan utama dan dilengkapi dengan kolam buatan, taman kecil, rumah, dapur, masjid, dan bangunan lainnya. Selain tempat bermeditasi, fungsi lain taman ini adalah tempat istirahat dan rekreasi, serta ibadah keagamaan. Bahkan Tamansari juga berfungsi pertahanan dengan terowongan bawah tanah yang tersembunyi. Sri Sultan Hamengku Buwono I memprakarsai pembangunan Tamansari yang dibangun pada tahun 1758-1765 M.
Desain Tamansari asli meliputi area seluas 10 hektar yang berisi 57 bangunan, yang terhubung ke Kraton melalui parit yang mengalir melalui Pangongan (1.B.2.80). Namun, situs tersebut mengalami perubahan signifikan setelah gempa bumi besar tahun 1867 yang menghancurkan banyak bangunan dan kompleks. Alih-alih membangun kembali situs tersebut setelah gempa bumi, Sultan membuka taman dan sistem parit untuk pemukiman para abdi dalem yang rumahnya telah hancur akibat gempa. Para keturunan orang-orang itulah yang kini tinggal di kompleks ini dan ikut mewarnai suasana, semangat dan perasaan di tempat itu.
Saat ini, ada sebelas (11) atribut di kompleks ini. Di antara beberapa atribut yang menonjol adalah Gapura Ageng (1.B.3.1), Kompleks Pemandian Umbul Binangun (1.B.3.2), Masjid Bawah Tanah Sumur Gumuling (1.B.3.3), dan Pulo Kenanga (1.B.3.4). Arsitektur Tamansari memadukan pengaruh tradisi Jawa, Hindu-Budha, Islam dan Eropa. Struktur bangunan di kompleks ini berbeda dengan yang ada di Kompleks Kraton. Tidak ada gaya bangunan Joglo tradisional, yang ada adalah bangunan tembok beratap dari susunan bata yang diplaster juga. Terdapat relief dan ukiran yang ditemukan tersebar di seluruh kompleks.
Meskipun Tamansari tidak lagi berfungsi sebagai taman untuk Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, namun tetap memiliki makna yang berkelanjutan bagi Kraton. Sesajen diletakkan di pintu gerbang utama Tamansari setiap tahun. Sesaji ini biasanya disiapkan tiga hari sebelum Tingalan Dalem (Ulang tahun Sultan), sebagai doa untuk kebaikan dan kebajikan.
Alamat
Address
Patehan, Kraton, Yogyakarta City, Special Region of Yogyakarta 55133, Indonesia
Detil Atribut
Attribute Details
Attribute Type
Buildings
Attribute #
B.3
Component
1
Year Built
1758-1765 CE
Ownership
The Sultanate
Tamansari is situated directly to the west of the main Kraton within the outer walls of the Benteng Baluwarti Kraton Yogyakarta. The Tamansari and Kraton is still connected by a two-metre high masonry wall that runs from the Kemagangan Courtyard to the Tamansari Complex (1.B.3.12). In the Javanese cosmological concept, a Royal Garden is considered to be the imitation of heaven. It is also a meditation place for the Sultan to be united with God. Therefore, this garden signifies the concept of the unity of God and King (Manunggaling Kawula Gusti).
Tamansari was the main royal garden complex and was furnished with artificial ponds, smaller gardens, houses, kitchens, mosques, and other buildings. It was built to function as a rest and recreational area as well as a meditation and religious worship area. Tamansari also functioned as a defensive structure for the Sultanate of Ngayogyakarta Hadiningrat, and included defences and hidden underground tunnels. Sri Sultan Hamengku Buwono I initiated the construction of Tamansari which was built from 1758-1765 CE.
The original Tamansari design covered an area of 10 hectares containing 57 buildings, which were connected to the Kraton via a moat that ran through the Pangongan passage (1.B.2.80). However, the site underwent significance changes following a large 1867 earthquake which destroyed many buildings and in the complex. Rather than rebuild the site after the earthquake, the Sultan opened the gardens and moat system up for settlement for royal courtiers whose homes had been destroyed by the earthquake. The descendants of these people still live in the area to this day, and contribute to the spirit and feeling of the place. Currently, there are eleven (11) attributes in this complex. The Great Gate (1.B.3.1), Umbul Binangun Bathing Complex (1.B.3.2), Sumur Gumuling Underground Mosque (1.B.3.3), and the Pulo Kenanga (1.B.3.4) are the most prominent structures in the complex. The architecture of Tamansari blends influences Javanese, Hindu-Buddhist, Islamic and European traditions. The structures in the complex are different to the main Kraton Complex and do not take the form of a Joglo style, rather, the buildings are made of rendered brick with masonry roofs. Ornate carvings and reliefs are found throughout the complex.
While the Tamansari no longer functions as a garden for the Sultanate of Ngayogyakarta Hadiningrat, it still has ongoing significance to both the Sultanate. Offerings (sesajan) are made the main gates of Tamansari each year. These offerings are typically prepared three days before the Tingalan Dalem (Sultan’s birthday), as a prayer for goodness and virtue.