Deskripsi
Description
Sumbu Filosofi Utara ini membentang dari Kompleks Kraton hingga Tugu di utara. Hingga kini, Sumbu Filosofi memiliki arti penting bagi Karaton Ngayogyakarta. Sejumlah upacara dilakukan di sepanjang jalan ini. Sumbu ini bermakna Manunggaling Kawula Gusti, yaitu ketika Sultan yang duduk di takhtanya bermeditasi menghadap Tuhan dengan memusatkan pikiran pada puncak Tugu. Prosesi pernikahan kerajaan (Dhaup Ageng) dari Kraton menuju Kepatihan melewati Sumbu Filosofi Utara ini. Sumbu filosofi Utara juga melambangkan bagian dari siklus hidup manusia dewasa.
Menurut sejarahnya, Sumbu Filosofi Utara merupakan jalan yang difungsikan sebagai margaraja atau jalan kerajaan. Margaraja digunakan untuk acara-acara seremonial, termasuk penerimaan tamu yang biasanya datang dari arah utara, karena jalan utama menuju kota lain berada di utara. Dilihat dari arah selatan sepanjang Sumbu Filosofi, titik pusat Kraton dan lambang Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat terlihat jelas di tengahnya. Ini dirancang untuk menciptakan dampak pada pengunjung Kraton dan pemandangan visual seperti ini berlanjut hingga hari sekarang.
Selain itu, Sumbu Filosofi Utara memiliki makna dalam hal menandakan keyakinan dalam siklus kehidupan manusia. Sumbu Filosofi Utara dibagi menjadi 4 (empat) bagian: (a) Pangurakan; (b) Margomulyo; (c) Malioboro; dan (d) Margoutomo.
(a) Pangurakan: Jalan ini berada tepat di utara Alun-Alun Lor disebut Pangurakan. Istilah pangurakan dalam bahasa Jawa berarti ‘mengusir’. Sesuai dengan namanya, jalan tersebut difungsikan sebagai pos penjagaan pintu masuk utara Kraton. Jalan ini memiliki dua gerbang tembok (Gerbang Pangurakan, 1.B.1.8). Gerbang Pangurakan melambangkan tahap kematian dalam siklus hidup manusia, ketika arwahnya berpisah dengan tubuhnya untuk kembali ke asalnya (Tuhan).
(b) Margomulyo: Jalan Margomulyo adalah ruas jalan Sumbu Filosofi yang dimulai di utara Gerbang Pangurakan dan berlanjut sekitar 450m ke utara. Ruas jalan ini bermakna “jalan menuju kemuliaan". Di sisi timurnya, terdapat Pasar Beringharjo (1C.2) yang melambangkan pemenuhan kebutuhan materi tanda kemuliaan.
(c) Malioboro: Jalan Malioboro merupakan ruas jalan sepanjang kurang lebih 900 m yang merupakan bagian tengah dari Sumbu Filosofi. Kata Malioboro berasal dari bahasa Jawa maliyo atau ‘perubahan menjadi wali’ dan bara dari ngumbara atau ‘perjalanan atau pengembaraan’. Dalam konteks ini, Malioboro berarti bahwa seseorang harus berjalan di jalan kebajikan dan memilih ajaran wali (pemimpin Islam terkemuka di Jawa) sebagai walinya. Ada interpretasi lain yang menunjukkan bahwa nama tersebut berasal dari kata Sansekerta mâlyabhara yang berarti ‘jalan yang berhiaskan untaian bunga’ (Carey,1984).
(d) Margatama (Marga Utama): Ruas Sumbu Filosofi ini merupakan bentangan jalan sepanjang 750m dari simpang Kereta Api sampai Tugu. Gabungan kata margo dan utomo berarti ‘jalan kebajikan’. Di sepanjang jalan ditanami pohon asam dan gayam. Sementara pohon-pohon lama sudah tidak ada lagi, pohon asam dan gayam baru telah ditanam. Ini bukan atribut dalam properti yang dinominasikan.
Alamat
Address
Jl. Malioboro, Sosromenduran, Gedong Tengen, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
Detil Atribut
Attribute Details
Attribute Type
Axis
Attribute #
C.1
Component
1
Year Built
-
Ownership
Provincial
Government
The Northern Cosmological Axis of the property stretches from the Kraton Complex to the Tugu Monument in the north. The axis has an ongoing significance to the Sultanate of Ngayogyakarta Hadiningrat, as evidenced through the ceremonies that are practiced on the axis. This includes the Manunggaling Kawula Gusti ceremony, when the Sultan sits in meditation on the throne focusing on the Tugu Monument along the Northern Axis. The royal wedding procession, which uses the Northern Axis on route to the Kepatihan Complex. In addition, each year offerings (sesajen) are placed by the Sultanate of Ngayogyakarta Hadiningrat at intersections along the Northern Axis.
Historically, the axis is a street that functioned as the margaraja or the royal road. The margaraja was used for ceremonial events, including the reception of guests who usually came from the north, as the main road to other towns was in the north. Looking from the south along the axis the centre point of the Kraton, and emblem of the Sultanate of Ngayogyakarta Hadiningrat, is clearly visibly in the centre of the axis. This was designed to create impact on visitors to the Kingdom and this visual corridor and view continues to this day.
In addition, the Northern Cosmolgical Axis has meaning in terms of signifying beliefs in the human life cycle. The axis is divided into four (4) sections: (a) Pangurakan; (b) Margomulyo; (c) Malioboro; and (d) Margoutomo.
(a) Pangurakan: The section of the axis directly north of the Alun-Alun Lor was called Pangurakan. The term pangurakan in Javanese means ‘to chase away’ or ‘to cast out’. As per the name, the area functioned as the guardian’s post for the northern entrance to the Kraton. The road contains two masonry gates (Pangurakan Gates, 1.B.1.8). When approached from the north to the south, this section of the road also has meaning in the Javanese after-life cycle, with the Pangurakan Gate representing the place where one should leave behind all material things including their own body (e.g. death) to proceed to Heaven (the Kraton) and reunite with the origin (God).
(b) Margomulyo: Margomulyo Street is the road section of the axis that begins to the north of the Pangurakan Gate and proceeds around 450m north. The Beringharjo Market is located along this section. The philosophical meaning of this road is ‘the way of being respectful’.
(c) Malioboro: Malioboro Street is the road section, approximately 900 m long, that is the middle portion of the Northern Axis. The word Malioboro derives from Javanese maliyo or ‘a change to become a wali’ and bara from ngumbara or ‘to travel or journey’. In this context, Malioboro means that one should walk the way of virtue and choose the teachings of the wali (prominent Islamic leaders in Java) as one’s guardian. There is another interpretation suggesting that the name is originated from a Sanskrit word mâlyabhara which means ‘garland bearing street’ (Carey 1984).
(d) Margatama (Marga Utama): This road section of the axis is a 750m long stretch of road from the railway intersection to Tugu Monument. The combined word margo and utomo means ‘the way of virtue’. Along the streets tamarind and gayam trees were planted. While the historic trees are no longer there, new tamarind and gayam trees have been planted. These are not attributes in the nominated property.